Rabu, 29 Mei 2013

Hujan malam ini,... 


 Hujan datang kembali, rasa mual itupun turut menyertai. “maaf, aku sudah tidak menyukaimu lagi. Jadi hentikan saja mencoba untuk membuatku mencintaimu.”pertama kali yang kurasakan saat itu adalah bau bangkai yang menyeruak bersama hujan. 
Andaikata ini adalah sebuah adegan film romantis, mungkin akan ada musik yang mengharubiru. Namun yang ada ditelingaku adalah makianku pada bangkai yang menebar aroma busuk ini. Bangkai yang kau buang dipinggir jalan itu. 
 Aku menghisap rokokku sekali lagi, rasanya tetap tidak seenak biasanya. Ada yang salah dengan bibir ini. Bibir yang menciummu dengan putus asa. Baumu tetap tidak mampu membuatku bernafsu untuk mengendusmu kembali. Bau maskulin mu yang tak mampu dilarutkan dalam hujan waktu itu, kenapa justru itu yang diingat bibir ini. Ada yang salah dengan rokok ini. 
“kenapa kau berubah menyedihkan seperti ini?” tuntutmu saat ini. 
Aku hanya mampu menyeringai. Sungguh aneh. Kenapa sedikitpun aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan.
 “ kemana orang yang dulu sangat menyukaiku? Siapa kau yang memendangku seakan aku wabah penyakit?!”
ya Tuhan,...siapa lagi dia? 

 Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak di tepi perkampungan kumuh surabaya. Jika kau ingin tahu, carilah sungai terbesar di kota ini, susuri jalan kecilnya lalu masuklah pada gang sempit menurun yang jadi langganan banjir. Temukan sebuah rumah 3X4 yang bertingkat dua dengan cat merah lusuh. Itulah rumahku saat ini. 
Bila kau beruntung kau akan bertemu dengan ibuku, dia biasa mencuci di depan rumah, di pinggir kali, tapi mungkin kau tidak akan mampu melihatnya di tumpukan baju kotor milik tetanggaku yang seenaknya saja menimbun cucian itu untukbalas budi uang recehan yang mereka berikan. 
Namun bila tak beruntung kau akan bertemu dengan bapakku. Dia biasa mabuk dipinggir kali dengan wanita recehan, yang beberapa waktu lalu menghanyutkannya, di tengah kali. 
 Saat memandang tubuh kakunya, yang kupikirkan pertama kali adalah ibuku yang sedang mencuci di pinggir kali. Mungkinkah ini semacam tanda cintanya pada bapakku. sekarang mungkin bapakku akan selalu menemaninya mencuci di pinggir kali. 
Kurebahkan tubuhku pada kasur yang suka berderit ini, deritannya mengingatku pada jeritanmu saat bercinta. Ah, bau bangkai itu kembali lagi. Rasanya basah dan menjijikkan.  Entahlah, aku malas mengepel lantai .
 # 

Kita bertemu lagi saat gerimis yang panjang sepanjang hari ini. Ah, lihatlah dirimu yang sangat manis dengan baju putih itu. Sudah berkali-kali kukatakan kau adalah malaikat yang mulia. 
“tidak ada malaikat di dunia ini, yang adalah setan putih berbedak.” 
Aku tetap merasa kau adalah malaikat yang berbedak.
“ kenapa kau mencintai seseorang seperti itu? Aku memang menyukaimu, tetapi aku tidak mencintaimu seperti itu” 
dan apakah aku perduli dengan anggapanmu itu, jika aku peduli, maka kau tak akan ada disini bersamaku. Memakai baju yang cantik dan minum teh yang enak ini. Dirimu akan berlayar jauh, terbang bersama kekasihmu itu. 
“ sungguhpun begitu, tidakkah kau merasa terganggu jika yang ada bersamamu ini adalah bangkai tak berjiwa yang sedang tersenyum palsu.” 
 Aku memang sering memikirkannya dalam doa-doa panjangku, jika jawaban yang ada adalah bayanganmu saja, maka apa yang dapat aku lakukan. Bukankah ini akan jadi semacam takdir?
 “ doa-doa tidaklah berarti jika yang kau paksakan adalah daya khayalmu saja” 
daya khayalku adalah dirimu, jadi sudahi saja . 
“ tidak ada yang dapat disudahi dari sesuatu yang tidak pernah dimulai” 
#

 Hari itu aku melihatmu dengannya.
 “iya, hari itu memang aku bersamanya.” 
 Saat malam tiba aku selalu bertanya, apakah kau bersama dengannya?
 “ saat malam tiba aku tidak pernah bersamanya. Sungguhpun jika malam itu aku bersamanya, hal itu sama sekali bukan urusanmu. Aku ingin malam adalah milikku sendiri. Sehingga aku dapat memilih dengan bebas ingin bersama siapa.” 
Apakah kau bersamaku saat malam itu tiba. 
“ kau tidak berhak sama sekali menentukan keberadaanmu pada malam-malamku. Hal itu adalah hak mutlakku.” 
Apakah kau bersama dengannya saat tidak bersamaku?
 “ memangnya aku bersama siapa lagi” 
#

Kuhisap rokokku dalam-dalam. Rasanya masih tidak enak. Aku kembali banyak memikirkanmu saat musim penghujan datang. Bau bangkai yang menyeruak memang sangat menyesakkan. Namun keberadaanmu yang seperti adamu itu terasa lebih kuat menghantuiku. Mungkin seperti bangkai yang kutemui di mana-mana itu. Aku terasa menjadi bangkai itu sendiri. Aku menguap. Aku mengkristal. Entah seperti ayahku yang hanyut bersama wanita recehan atau seperti ibuku yang membunuh keberadaannya dengan seseorang yang lebih mencintai wanita recehan. Aku banyak memikirkan hal ini dalam berbagai makian yang panjang. Bersama denganmu rasanya seperti menelan bangkai cinta ini bulat-bulat. Entah kenapa dulu aku tidak membiarkanmu terbang jauh saja dengan kekasihmu itu. Karena pada akhirnya yang kau sisakan dari tubuhmu adalah bau ayahku. ##

Minggu, 11 November 2012

tuan, bukan aku menghiba kesenangan padamu, karena aku hanya senang padamu. bayanganmu yang kuharap menaungi sepanjang jalanku.
tuan, janganlah engkau mengira cinta ini permata... ini adalah angin yang bertiup saja bukan,...bukan sebegitu saja karena bulir-bulirnya akan memenuhi napasmu dengan aroma dunia, setiap hembusan akan menghablur menjadi kelopak kelopak mawar setiap kelopak akan mewangi dan menyemukan setiap jiwa yang terkutuk pada penghambaan yang tak dimengertinya tuan, mengapakah mereka tidak mengerti? tanyalah padaku! maaf,..maaf jika aku tertawa aku hanya tak mengira anda akan benar-benar bertanya
sajak hari ini
jalanan pagi ini dipenuhi dengan jeruji
terpancang disudut2 gelap negeri ini
mencegah anjing mengais batang-batang tua
akankah sudut itu mengungkap gelapnya taman mawar yang indah mewangi?
kiranya durinya lebih menyakiti daripada gelap disudut berjeruji itu,
tidakkah kau ingin menghentaknya, mendakinya, merobohkannya dengan perkosa?
atau kau rayu dengan seribu kilau cahaya yang menggelapkan hingga kau akan memiliki sudut gelap berjeruji milikmu sendiri (dibalik kebun mawar berduri)

cermin

aku tau ini adalah akhirku, jangan minta jiwa ini mengampuni, karena jiwa ini tak mampu kau ambil kembali, lingkarilah takdirmu yang malang itu, bukan salahku ada darimu, tapi salahmu yang memahatku begini, andai peri biru tidak beramah dengan terlalu, menebar senyum lalu berlalu, seolah hanya berkidung pada patung pinokio beruntung, karena patung ini buntung, bukan gepeto tua yang hanggat di depan pintu,...

Jumat, 09 November 2012

hari ini aku kembali melayang di keramaian. setelah sekian lama hidup dibawah bayang-bayang rasa cahaya hanyalah sebuah candu manis yang tidak dapat kunikmati dengan indah. hal itu telah meracuniku dengan virus rasa puas yang menjemukan. rasa muak menyeruak dengan indah tanpa peringatan. mungkin akan berlebihan jika kukatakan kalau aku bosan hidup. tapi tidak juga berlebihan juka aku tidak suka mati. membayangkan terkubur sendiri di dalam tanah membuat aku merasa aneh. aku tahu kematian akan datang kepadaku, tapi membayangkannya dengan sebuah kesadaran sangat tidak mengenakkan hatiku. aku percaya pada tuhan dan malaikat, juga neraka dan surga, aku hanya tidak percaya diri untuk bersinggungan dengan mereka. aku tahu ini adalah sebuah kesombongan ironis yang menyedihkan. aku tahu bila aku hanyalah orang picik yang pandai membuat penyangkalan terhadap kebodohan diri, aku tak akan membuat pengingkaran atas hal tersebut. satu satunya hal yang tidak akan kusangkal dan takmau kusangkal. namun, aku akan kembali ke jurang menyedihkan karena terlalu mencintai diri sendiri dan tak ingin membagi cinta ini pada sesuatu yang lain. jika tuhan ingin menyentuhku, aku seketika menjadi merasa sangat rendah, lalu menjadi sangat tinggi karena aku mampu merasakan perhatianNya, aku akan meng-aku kembali dan diriku menebal oleh rasa bangga yang hampa. aku tidak pernah merasa bahagia, tapi aku juga tidak pernah merasa menderita dalam ketidakbahagian itu. mungkin inlah yang membentukku saat ini, atau aku mau aku yang seperti ini? tuan jangan terlalu dipikirkan. aku merasa seorang masokis yang berdiri di ragaku ini berubah menjadi sadistis. jangan terlalu dipikirkan. aku hanya menghamba. hamba tak memiliki apapun selain tuhan yang memilikinya. bukan, bukan tuan yang kubicarakan, ini masalah personal, aku tidak menyukai tuan karena tuan tidak sebanding denganku. jangan tersinggung. apakah tuan suka membanggakan diri seperti ini? sangat disayangkan, aku suka orang yang membanggakan diri, tapi aku tidak suka berada didekat mereka. jadi kuharap tuan tidak terlalu membenciku jika aku menjauh dari tuan. hal ini bukan sepenuhnya salah tuan, karen tuan tidak akan berdosa jika seseorang tidak menyukai tuan karena sesuatu. hal itu sepenuhnya tanggungjawab orang tersebut. hal ini sangat menghiburkan? bayangkan saja mereka semut yang tak suka anda injak, tapi toh mereka itu sangat kecil dan tak berarti bagi tuan, jadi anggaplah aku ini semut seperti itu, walau nanti aku akan mengigit tuan juga tuan menginjakku, tapi hal itu sepenuhnya jangan dipikirkan tuan, dalam beberapa saat tuan akan melupakannya, baik rasa sakit atau semut itu sendiri atau dosa kecil yang dapat anda tepis dan akan luput dari doa pertobatan tuan. tapi sungguh aku sangat suka dengan sikap tuan itu, aku hanya tidak mau terinjak oleh tuan.

Sabtu, 19 November 2011

semakin aku belajar tentangmu, aku semakin tidak mengenalmu. bagai menimba sumur berdasar samudra, bagai mengenggam matahari dengan memicing mata. saat aku belajar mengertimu, rasanya semakin aku tak pantas untuk mempertanyakan maksudmu, bagai menanyakan makna angin semilir yang berujung topan badai, seperti membentuk mimpi melalui imaji , namun akupun tak bisa berdiam diri menanti, aku menebak, aku mengejar, aku memahat, aku mendaki dan aku akan mencoba lagi. karena itu, beri aku petunjukmu....

Rabu, 16 November 2011

Tuan, aku terjatuh dalam lumpur. lumpur merah berkilauan. Tuan, maukah kau membagi air sungai yang kaupijak? tak apa jika kumenimba, tak apa jika kumendaki,dan tak apa bila kumemikul. aku ingin bersih Tuan, bagilah padaku harum ragamu, berikan aku jubah putihmu. Tuan, hambamu ini butuh uluran tanganmu, disini kubersimpuh dengan tubuh berlumpur merah kemilau, kudisini Tuan. sudahkah tanganmu terulur, Tuan?