Hujan malam ini,...
Hujan datang kembali, rasa mual itupun turut menyertai. “maaf, aku sudah tidak menyukaimu lagi. Jadi hentikan saja mencoba untuk membuatku mencintaimu.”pertama kali yang kurasakan saat itu adalah bau bangkai yang menyeruak bersama hujan.
Andaikata ini adalah sebuah adegan film romantis, mungkin akan ada musik yang mengharubiru. Namun yang ada ditelingaku adalah makianku pada bangkai yang menebar aroma busuk ini. Bangkai yang kau buang dipinggir jalan itu.
Aku menghisap rokokku sekali lagi, rasanya tetap tidak seenak biasanya. Ada yang salah dengan bibir ini. Bibir yang menciummu dengan putus asa. Baumu tetap tidak mampu membuatku bernafsu untuk mengendusmu kembali. Bau maskulin mu yang tak mampu dilarutkan dalam hujan waktu itu, kenapa justru itu yang diingat bibir ini. Ada yang salah dengan rokok ini.
“kenapa kau berubah menyedihkan seperti ini?” tuntutmu saat ini.
Aku hanya mampu menyeringai. Sungguh aneh. Kenapa sedikitpun aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan.
“ kemana orang yang dulu sangat menyukaiku? Siapa kau yang memendangku seakan aku wabah penyakit?!”
ya Tuhan,...siapa lagi dia?
Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak di tepi perkampungan kumuh surabaya. Jika kau ingin tahu, carilah sungai terbesar di kota ini, susuri jalan kecilnya lalu masuklah pada gang sempit menurun yang jadi langganan banjir. Temukan sebuah rumah 3X4 yang bertingkat dua dengan cat merah lusuh. Itulah rumahku saat ini.
Bila kau beruntung kau akan bertemu dengan ibuku, dia biasa mencuci di depan rumah, di pinggir kali, tapi mungkin kau tidak akan mampu melihatnya di tumpukan baju kotor milik tetanggaku yang seenaknya saja menimbun cucian itu untukbalas budi uang recehan yang mereka berikan.
Namun bila tak beruntung kau akan bertemu dengan bapakku. Dia biasa mabuk dipinggir kali dengan wanita recehan, yang beberapa waktu lalu menghanyutkannya, di tengah kali.
Saat memandang tubuh kakunya, yang kupikirkan pertama kali adalah ibuku yang sedang mencuci di pinggir kali. Mungkinkah ini semacam tanda cintanya pada bapakku. sekarang mungkin bapakku akan selalu menemaninya mencuci di pinggir kali.
Kurebahkan tubuhku pada kasur yang suka berderit ini, deritannya mengingatku pada jeritanmu saat bercinta. Ah, bau bangkai itu kembali lagi. Rasanya basah dan menjijikkan. Entahlah, aku malas mengepel lantai .
#
Kita bertemu lagi saat gerimis yang panjang sepanjang hari ini. Ah, lihatlah dirimu yang sangat manis dengan baju putih itu. Sudah berkali-kali kukatakan kau adalah malaikat yang mulia.
“tidak ada malaikat di dunia ini, yang adalah setan putih berbedak.”
Aku tetap merasa kau adalah malaikat yang berbedak.
“ kenapa kau mencintai seseorang seperti itu? Aku memang menyukaimu, tetapi aku tidak mencintaimu seperti itu”
dan apakah aku perduli dengan anggapanmu itu, jika aku peduli, maka kau tak akan ada disini bersamaku. Memakai baju yang cantik dan minum teh yang enak ini. Dirimu akan berlayar jauh, terbang bersama kekasihmu itu.
“ sungguhpun begitu, tidakkah kau merasa terganggu jika yang ada bersamamu ini adalah bangkai tak berjiwa yang sedang tersenyum palsu.”
Aku memang sering memikirkannya dalam doa-doa panjangku, jika jawaban yang ada adalah bayanganmu saja, maka apa yang dapat aku lakukan. Bukankah ini akan jadi semacam takdir?
“ doa-doa tidaklah berarti jika yang kau paksakan adalah daya khayalmu saja”
daya khayalku adalah dirimu, jadi sudahi saja .
“ tidak ada yang dapat disudahi dari sesuatu yang tidak pernah dimulai”
#
Hari itu aku melihatmu dengannya.
“iya, hari itu memang aku bersamanya.”
Saat malam tiba aku selalu bertanya, apakah kau bersama dengannya?
“ saat malam tiba aku tidak pernah bersamanya. Sungguhpun jika malam itu aku bersamanya, hal itu sama sekali bukan urusanmu. Aku ingin malam adalah milikku sendiri. Sehingga aku dapat memilih dengan bebas ingin bersama siapa.”
Apakah kau bersamaku saat malam itu tiba.
“ kau tidak berhak sama sekali menentukan keberadaanmu pada malam-malamku. Hal itu adalah hak mutlakku.”
Apakah kau bersama dengannya saat tidak bersamaku?
“ memangnya aku bersama siapa lagi”
#
Kuhisap rokokku dalam-dalam. Rasanya masih tidak enak. Aku kembali banyak memikirkanmu saat musim penghujan datang. Bau bangkai yang menyeruak memang sangat menyesakkan. Namun keberadaanmu yang seperti adamu itu terasa lebih kuat menghantuiku. Mungkin seperti bangkai yang kutemui di mana-mana itu. Aku terasa menjadi bangkai itu sendiri. Aku menguap. Aku mengkristal. Entah seperti ayahku yang hanyut bersama wanita recehan atau seperti ibuku yang membunuh keberadaannya dengan seseorang yang lebih mencintai wanita recehan. Aku banyak memikirkan hal ini dalam berbagai makian yang panjang. Bersama denganmu rasanya seperti menelan bangkai cinta ini bulat-bulat. Entah kenapa dulu aku tidak membiarkanmu terbang jauh saja dengan kekasihmu itu. Karena pada akhirnya yang kau sisakan dari tubuhmu adalah bau ayahku.
##